Masih Aku Ingat Belaianmu

Sepanjang hidup kita, cari cari tanda, tuk beranjak, tuk berjalan
Sejauh pandangan, yang keruh kerontang, tiada jawaban
Yang kelak kan datang, tak kau tahu sekarang
Inikah?inilah
Percayalah,
Barangkali kita berangkat saja dulu
Meski tahu, jalan nanti kan berbatu
Tak kau tahu berapa jauh

Masih aku ingat belaian mu hari itu, saat aku dalam kondisi terlemah dan hampir hilang kesadaran. Bergelut dengan napas napas pendek yang menjerat dada. “Perjalananmu masih panjang nak, bertahanlah” begitu kau rasukiku dengan mantra magis itu. Di langit ruangan itu terdengar suara mesin pemindai detak jantung dan sebuah tangis laki laki yang ketakutan. 

Di tepian danau di sisi Tenggara Gunung Lawu, waktu yang lebih jauh dari hari sedih dan sesak itu, kau mendengar segala ragu yang berkumpul dalam kepalaku yang tumpah ruah alih alih tersendat di celah kerongkongan, tak taerucap. “Kamu hanya takut nak, terima dan beranilah”. Kelengangan di sekitar danau itupun tak terusik, adapun ia menular, ada lengang dan lapang yang bermunculan diikuti semilir angin yang berhembus membelai lembut wajah itu.

Dihari lain yang lampau. Mangkuk hidangan itu disajikan, sesekali kau menatapku keheranan, mataku dan matamu bertemu. Seluruh ceritaku agaknya memang selalu membuatmu keheranan, sesekali kau mungkin mencoba mencerna maksud kalimat anak laki laki semata wayangnya. “Ibu pikir, Itu adalah rasa angkuh”. Anak laki laki ibu tertunduk, sekarang bertukar posisi, aku yang masih mencerna maksud kalimat ibu, melihat piring makan yang sudah kosong, kemudian bergantian menatap mata ibu sekali lagi. “Temui, dan akuilah”. 

Kemudian, beberapa bulan menjelang pergantian tahun, sekali lagi antara hatimu dan hatiku bertemu. Saat itu, sore hari menjelang senja. Ibu hanya memanfaatkan waktu keberangkatan kereta api untuk menemuiku. Di sebuah kedai, aku memesan semangkuk es krim dan kau sepiring spaghetti. Perbincangan kami adalah upaya mengingat-ngingat foto-foto yang terpajang di rumah, terdapat satu bingkai khusus dimana disitu terkumpul fotoku bersama dengan teman-teman. Bingkai foto itu menyerap seluruh pokok bahasan, siapa mereka, bagaimana mereka melanjutkan hidup dan hal-hal lain yang aku ketahui. Seluruh isi cerita sebagian besar adalah wisata masa lalu begitu kata Baskara. Tetapi, yang membuatnya terkenang adalah kesamaan antara apa yang kami pikirkan. Ada seseorang dalam bingkai foto itu yang terus menerus menyusup dalam pikiranku dan ibu. “Seperti halnya cita-citamu, maka ia layak untuk diperjuangkan.”Kemudian semua perasaan bercampur menjadi satu, masih adakah keberanian? Dan apa bentuk dari keberanian itu, pertanyaan lain lahir di dalam kepalaku.

Di tepian laut selatan, sore hari, saat angin laut menerbangkan pasir pasir ke peraduannya, kami bertemu dalam percakapan yang mendalam. Pertanyaan ini, pantas tidak pantas telah disampaikan oleh seseorang yang berumur seperempat abad. “Apakah ibu pada akhirnya akan menyerah untuk memahami anak laki-lakinya?” Pertanyaan yang terasa begitu kekanak-kanakan, tapi itulah hal yang selalu ingin aku tanyakan. Tidak ada masa depan yang baik selain melakukan segala hal yang dirasa paling benar dan baik hari ini. Dalam keterbatasan pikiranku, pertanyaan itu adalah bentuk paling benar dan baik. “Seorang ibu tidak akan pernah menyerah untuk mencoba memahami anaknya, belajar bersamanya sepanjang hayat.” Saat itu kami memandangi gelombang-gelombang air laut di depan kami.   Tidak ada hal yang paling melegakan selain keberpasrahan penuh kepada Tuhan dan kasih sayang paling banyak dari orang tua.

Garis waktu yang aku lekatkan menjadi pengingat kapan tangan-tanganmu mampu selalu menggapaiku, saat ragu dan takut berkawan dengan anak laki-lakimu ini, dan saat sedih dan muram menjadi kawan-kawan malam. Tangan-tanganmu menjadi penunjuk arah, saat anakmu mencari pertanda untuk mulai berjalan, untuk ketika ia mencoba kembali memberanikan diri, sekali lagi, dan lagi.

Keberanian itu masih ada, entah ia berlipat ganda atau tidak, secara pasti akan menemukan bentuknya. Di satu sisi, ia tetap dibersamai oleh kecemasan, dan ketakutan dengan wujud yang sama, “Selanjutnya adalah giliran ibu.” Maka itulah bentuk paripurna dari keberanian itu.

Dan laut terbelah, tanah menengadah
Percayalah
Barangkali, kita berangkat saja dulu
Meski tahu, jalan nanti kan berbatu
Tak kau tahu berapa jauh
Tapi pasti, kita berangkat saja dulu
Meski tahu, barangkali

(Lirik dalam lagu ‘Kita Berangkat Saja Dulu’ oleh Ananda Badudu dan Monita Tahalea)

One thought on “Masih Aku Ingat Belaianmu

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑